Menggugat Gerakan #GantiPresiden Dalam Perpekstif Adab

Share this:
BMG

SIMALUNGUN, BENTENGSIANTAR.com– “Janganlah karena kebencianmu engkau menjadi tidak bersikap adil dalam pikiran, tindakan dan akhlakmu. Berlaku adil karena itu lebih dekat dengan taqwa. Ber-adablah karena Nabi diturunkan utuk memperbaiki akhlak.”

Saya ini bukan tim sukses Presiden Jokowi dan Capres Prabowo. Saya hanya anak bangsa yang berusaha mencintai dan mendoakan bangsa ini dan siapapun pemimpin yang ditakdir Tuhan untuk negeri ini.

Sebab begitulah yang saya tahu diajarkan agama dalam menyikapi kepemimpinan bernegara. Saya gak tahu jika ada ilmu-ilmu baru atau ilmu yang lebih tinggi dari itu yang diajarkan Ulama-ulama mutakhir saat ini yang menghalalkan gerakan yang menimbukan gesekan sosial seperti ini.

Saya semula termasuk mendukung gerakan konstitusional #gantipresiden. Sebab bagi saya istilah ‘konstitusional’ menjadi paku mati tentang sah dan legal dalam mengeluarkan pendapat. Bahkan tulisan saya tentang persekusi Ustadzah Neno Warisman sewaktu di Batam turut serta begitu tegas mengecam.

Namun akhir-akhir ini jika kita merenungi dengan hati yang bersih ada kesan gerakan ganti presiden ini berubah menjadi gerakan sporadis tapi terorganisir anti presiden yang menurut saya kurang menghargai nilai-nilai keberadaban. Dan efeknya psikologis dan sosial yang ditimbulkannya. Ini yang saya maksud krisis adab.

Mari kita analisis renungan saya atas pragmentasi ini. Gerakan deklarasi atau apapun namanya #gantipresiden ini pada kenyataan telah menjelma menjadi ajang dan sarana kampanye pilpres yang sesungguhnya boleh jadi melanggar tata tertib Undang-Undang Pemilu.

Kondisi ini membuat kita prihatin. Coba saya renungkan; orang masih menjabat dalam masa periodesasi yang ditentukan tapi anda atau kita sudah berteriak ‘ganti presiden’ padahal masa pemilu pergantian belum tiba.

Tamsil lebih sederhana lagi, anda diamanahkan menjadi pemimpin lembaga, perusahaan, institusi atau instansi pada masa periode tertentu. Atau tamsil yang lebih awam. Misalnya, anda terpilih jadi kepala desa (5) tahun tapi baru tahun ke (3) anda sudah diterikakkan dan dibuat gerakan untuk ganti kepala desa, padahal masa pemilihan kepada desa (2) tahun lagi.

Beradabkah anda melakukan itu? Bayangkan jika ini menjadi warisan setiap kepemimpinan. Di mana jika ada kebijakan pemimpin yang dianggap tidak berpihak langsung disambut dengan gerakan #gantipemimpin. Peradaban macam apakah yang mau kita wariskan?

Sangat berbeda jika gerakan itu melengserkan atau menjatuhkan. Jika ada kebijakan pemimpin yang melanggar UU dan amanat rakyat silahkan dilengserkan (dimakzulkan) lewat konstitusional. Tentu itu sah-sah saja. Kita dukung. Tapi jika anda berteriak #gantipresiden padahal masa pilpres masih jauh, itu artinya kita kurang bersabar.

Dan jika anda mengajak orang untuk berkumpul atau menggerakkan massa untuk sama-sama berteriak dan menyuarakan #gantipresiden serta sebaliknya menyuarakan untuk memilih capres lain. Bukankah itu namanya kampanye? Bukankah masa kampanye itu diatur dalam Undang-Undang Pemilu?

Mari kita bumikan politik kasih sayang dan menyembelih politik identitas yang dipenuhi kebencian. Dahulu Presiden Jokowi kita maki-maki dengan sebagai Presiden anti Ulama, nyatanya sekarang Wapres-nya justru Ulama bahkan Ketua MUI dan keturunan Ulama besar lagi. Meskipun saya juga mengkritik soal umur yang relatif tua. Sekarang, muncul lagi argumentasi bahwa pilihan itu untuk memanfaatkan Ulama. Begitulah tidak habis-habisnya kita mengeluarkan sejuta kata untuk sebuah kebencian.

Di sisi lain, Capres Prabowo tidak mengindahkan ijtima Ulama sebagaimana dikecam tegas oleh Prof Yusril Izha Mahendra. Tapi lagi-lagi kita punya sejuta kata untuk menjawab termasuk diantaranya munculnya kaedah baru agar Ulama tidak dihadap-hadapkan. Semua itu sah-saja dalam politik demokrasi asal kita tidak saling membangun fitnah-fitnah kebencian.

Oleh karenanya, mari kita wariskan wajah politik yang beradab untuk negeri ini. Hemat saya, gerakan massif dan terorganisir tagar #gantipresiden ini bisa menjelma menjadi gerakan kurang adab. Bayangkan saja jika suatu waktu kedepan takdir Allah, Presiden kita adalah Bpk Prabowo. Lantas baru dua (3) tahun berjalan sudah muncul gerakan massif #gantiPresiden Prabowo. Beradabkah kita? Lantas warisan politik apa yang ingin kita tegakkan dan wariskan??

Masihkan konstitusional dan beradab gerakan ini jika kita tidak hiasi dengan kesabaran dan keberadaban. Bayangkan betapa deras dan tingginya emosi kebencian gerakan #gantipresiden sehingga gerakan ini menyelinap masuk ke barisan jemaah haji Indonesia di Kota Suci Makkah al-Mukarramah. Atau membuat pragmentasi gerakan kelompok yang berpose #gantipresiden.

Padahal haji itu adalah ibadah yang memiliki spiritualitas yang tinggi. Terlalu berat, lelah dan rugi serta capek jika ibadah suci mengunjungi rumah Tuhan dan jejak para kekasihNya ini kita reduksi dengan kepentingan politik-politik praktis. Apalagi predikat para calon haji pun disebut dengan dhuyufurrahman ‘tamu-tamu Tuhan’.

Haji, dimulai dari berniat ihram dan memulai talbiyah dengan mengucapkan Labbaik, Allahumma Labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal-hamda wan-ni`mata laka wal-mulk, la syarika lak.

Betapa dalam makna sufistik ihram dan makna talbiyah. Ihram dan talbiyah dari miqat, maknanya adalah memenuhi panggilan Allah. Memakai ihram dan mengucapkan talbiyah berarti menanggalkan semua kepemilikan kita dan datang dengan ketulusan hati (ruh).

Kalimat talbiyah menancapkan kesadaran tauhid secara murni dalam jiwa. Kesadaran bahwa kehormatan, pangkat, jabatan, harta dan kekuasaan serta segala bentuk yang melekat kepada kita harus kita tanggalkan dan mengembalikan kepada pemilik sejatiNYA. Artinya, jika engkau bertemu Tuhan maka tanggalkan segala baju-baju kepalsuanmu. Baju politik dan baju kepentingan apapun kecuali ingin menemui Tuhan dengan sepenuh jiwa.

Di sana, kita ingin hadir dengan pengharapan diakui sebagai hamba Allah. Jadilah manusia yang tidak pernah menjadi siapa-siapa dan tidak pernah memiliki apa-apa.

Sufyan bin Uyainah mengisahkan, ‘Suatu ketika Ali bin Al-Husain menunaikan haji. Ketika ia ber-ihram dan menaiki untanya, menjadi menguning tubuhnya. Ia pun menggigil, gemetar, dan tidak dapat ber-talbiyah. Lalu, ia ditanya, ‘Mengapa engkau tidak ber-talbiyah?’

Ia menjawab, “Aku takut akan dikatakan kepadaku: Engkau tidak sedang memenuhi panggilanKU. Ketika ber-talbiyah, ia pingsan dan jatuh dari untanya. Hal itu terus menimpanya sampai ia menyelesaikan hajinya.”

Marilah kita sempurnakan setiap ibadah kita semata-mata karena Allah. Jika ada hajat dan kepentingan, maka bermunajatlah. Doakan bangsa ini. Doakan Presiden Jokowi agar diberi Allah petunjuk untuk menjadi kepala negara yang diridhoi Allah. Bagi para pendukung Prabowo, maka doakan agar Allah meridhoi niat anak bangsa untuk pergantian Presiden. Dan kita tetap menjaga persatuan dan persaudaraan.

Mari kita tegakkan dan wariskan politik yang berbasis kasih sayang dan keberadaban. Sekali lagi tulisan ini tidak ada pretensi politik untuk mendukung salah satu capres. Ini hanya sebentuk keresehan anak bangsa yang tidak berdaya dan jauh dari pusat kekuasaan tapi sangat mencintai terbangun persaudaraan kebangsaan yang saling mengasihi dan menyayangi. Semoga !!! Salam.

(Penulis: Ahmad Sabban Rajagukguk, Pengasuh di Rumah Sufi dan Peradaban Simalungun)

Share this: