Walikota Siantar Juga Dinilai Melakukan Pengucilan dan Itu Pidana

Share this:
FERRY SIHOMBING-BMG
Massa GSMH saat kembali berunjuk rasa di Kantor DPRD Siantar, mendesak agar paripurna pemakzulan Walikota Siantar Hefriansyah segera digelar, Senin (6/8/2018).

SIANTAR, BENTENGSIANTAR.com– Menurut saksi ahli ilmu hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Dr Muhammad Hamdan SH MH, Pemko Siantar dalam membuat serta memakai simbol-simbol Simalungun dan telah mempertontonkan pada masyarakat luas pada Acara Hari Jadi ke-147 Kota Siantar Tahun 2018, itu tidak dapat dikatakan atau dikategorikan unsur perbuatan pidana.

Tapi, perbuatan Pemko Siantar terhadap pembuatan dan pemakaian simbol-simbol Simalungun yang salah dan telah mempertontonkan pada masyarakat luas maka itu merupakan pengucilan dan pengucilan tersebut termasuk hukum pidana.

Sehingga, Muhammad Hamdan berpendapat bahwa dari latar belakang proses pembuatan brosur dan pemakaian simbol-simbol Simalungun yang tidak sesuai maka dikategorikan sebagai penghinaan yang unsur-unsurnya terdapat pada Pasal 157 Ayat 1 KUHPidana.

Keterangan saksi ahli ilmu hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Dr Muhammad Hamdan SH MH ini juga sebagaimana tertuang dalam salahsatu kesimpulan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Kota Siantar atas dugaan penistaan etnis Simalungun yang dituduhkan kepada Walikota Siantar Hefriansyah.

Sebagaimana diketahui bahwa dugaan penistaan etnis Simalungun ini bermula dari Pemko Siantar mencetak brosur yang memuat gambar rumah adat Simalungun dikelilingi orang-orang memakai pakaian adat tapi tidak satu pun mengenakan pakaian adat Simalungun, dengan judul ‘Siantar Kota Pusaka’.

(Baca: Desakan Massa Segera Gelar Paripurna Pemakzulan Walikota Hefriansyah)

Oleh Pemko Siantar kemudian brosur itu diperbaiki dengan menampilkan gambar orang dengan busana Simalungun tapi tetap dipersoalkan karena penggunaan thema ‘Siantar Kota Pusaka’ sehingga muncul anggapan bahwa Pemko Siantar dalam hal ini Walikota Siantar Hefriansyah telah menganggap bahwa etnis Simalungun sebagai sipukkah huta (suku asli Kota Pematangsiantar) tinggal kenangan. Apalagi gambar rumah adat Simalungun yang tercetak dalam brosur itu adalah Uttei Jungga, rumah adat Simalungun yang keberadaannya di Purba dan sudah terbakar.

(Baca: Tiada Maaf Untuk Walikota Siantar)

Bahwa etnis Simalungun dalam hal ini Partuha Maujana Simalungun (PMS) sebagai pemangku adat sudah menyurati Pemko Siantar sebelum finalisasi dari brosur tersebut tetapi diabaikan dan tetap mencetak sesuai dengan versi Pemko Siantar. Atas sikap Walikota Siantar tersebut, etnis Simalungun merasa dilecehkan.

Apalagi brosur itu telah dipertontonkan kepada masyarakat luas pada acara Hari Jadi ke-147 Kota Siantar dan pada Acara Pekan Raya Sumatera Utara di Medan.

Share this: