Anak ‘Zaman Now’ Sibuk Main Gadget? Orangtua, Jangan Langsung Bilang ‘Oh No’!
- Sabtu, 27 Apr 2019 - 09:41 WIB
- dibaca 290 kali
SIANTAR, BENTENGSIANTAR.com– Anak-anak sekarang atau populer dengan sebutan anak ‘Zaman Now’ sangat akrab dengan gadget. Bahkan tidak sedikit yang sangat bergantung pada telepon selular itu. Lalu, bagaimana orangtua harus meresponnya?
Tentang kebiasaan anak ‘zaman now’ yang sangat bergantung pada gadget, itu menjadi salahsatu topik bahasan antara mahasiswa dengan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, dalam sesi tanya jawab seminar nasional bertempat di Aula Kampus Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar (UHKBPNP), Rabu (24/4/2019).
Merespon itu, Arist menyatakan bahwa orangtua harus berani mengatakan tidak kepada anak, ketika gadget tersebut digunakan sebagai pemenuhan sifat adiktif-nya. Tapi sebaliknya, jika itu berkaitan dengan segala sesuatu yang bersifat edukatif, maka sebaiknya didukung.
Tidak Ada Kata Damai Terhadap Kekerasan Anak
Dalam seminar itu, Arist menegaskan, tidak ada toleransi dan kata damai terhadap segala bentuk kekerasan terhadap anak. Sebab, kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa, maka penanganannya pun harus luar biasa (extraordinary).
Jika muncul pertanyaan mengapa anak perlu dilindungi, maka jawabannya anak adalah amanah, titipan dan anugerah dari Tuhan. Anak mempunyai hak hidup, harkat, dan martabat sebagai manusia dan anak adalah dambaan keluarga. Anak adalah keberlangsungan negara dan penerus bangsa.
Baca: Justice For Audrey, Kronologi Lengkap Siswi SMP Dikeroyok 12 Pelajar SMA di Pontianak
Baca: Gara-gara Kesal, Nyawa Anak Balita Melayang di Tangan Tantenya
Baca: Oknum PNS Simalungun Digerebek Istri Berduaan dengan Janda Anak Satu
Ia menyebutkan, berdasarkan data yang dikumpulkan dan dianalis Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak, mencatat bahwa sebanyak 216. 897 terjadi kasus pelanggaran hak anak di 34 provinsi, dan di 179 kabupaten/kota.
Sebesar 58 persen dari pelanggaran hak anak itu didominasi kejahatan seksual. Selebihnya 42 persen adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak (child trafficking) untuk tujuan eksploitasi seksual komersial serta kasus-kasus perebutan anak.