SIANTAR, BENTENGSIANTAR.com– Saat ini, dampak perubahan iklim telah menjadi isu global dan menjadi topik hangat yang paling sering dibahas dalam pertemuan internasional. Siklus alam yang tidak seimbang telah memicu meningkatnya persoalan lingkungan hidup dan sosial.
Persoalan lingkungan hidup ini tentunya tidak dapat dianggap enteng karena akan mempengaruhi ekonomi makro suatu negara termasuk pertumbuhan ekonominya. Salah satu sektor yang mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi adalah bank atau lembaga keuangan, dimana sesuai fungsinya yaitu menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat.
Penulis adalah Mahasiswi S2 Magister Manajemen Properti dan Penilaian USU
Namun disadari bahwa peran bank tersebut di Indonesia sampai saat ini masih terbatas cara pandangnya, yaitu masih melihat pada aspek ekonomi dan pada umumnya masih enggan untuk memberi perhatian lebih besar terhadap permasalahan lingkungan.
Hal itu terkait dengan paradigma lama bahwa bank sebagai entity business, dimaksudkan untuk mencetak laba setinggi-tingginya dan ditambah dengan persepsi bahwa peduli terhadap lingkungan hanya membebani perusahaan (just another cost).
Padahal, dalam pelaksanaan kegiatannya baik sebagai entitas usaha maupun lembaga penyaluran kredit dari dana yang disalurkan dan digunakan oleh sektor usaha kepada pihak lain sering menimbulkan dampak luas terhadap lingkungan, antara lain: pencemaran lingkungan, emisi karbon dioksida, pemanasan global hingga kerusakan lingkungan.
Keuangan berkelanjutan merupakan suatu dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelasarakan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup yang mengacu pada Pasal 1 POJK Nomor:51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Tantangan terbesar dalam menerapkan keuangan berkelanjutan adalah meyakinkan pelaku usaha dan masyarakat bahwa upaya untuk menghasilkan keuntungan akan lebih baik dan langgeng jika dilakukan dengan mempertimbangkan sumber daya alam dan dampak sosial kepada masyarakat.
Hal ini dikenal dengan prinsip profit, people, planet (3P).
Dengan demikian diperlukan sebuah inisiatif yang dapat mengubah pola pikir pelaku usaha dari mengejar keuntungan jangka pendek menjadi kemakmuran jangka panjang. Arah pertumbuhan ekonomi yang lebih bertanggung jawab telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Baca: Gus Dur Menafsirkan 7 Sapi Kurus 7 Sapi Gemuk saat Indonesia Kritis
Sejalan dengan tujuan tersebut, dibutuhkan kesadaran dan kapasitas Industri Jasa Keuangan untuk menerapkan aspek Lingkungan, Sosial dan Tata kelola (LST) serta melakukan adaptasi perubahan iklim menuju ekomi rendah karbon.
Oleh karena itu, sebagai elemen pemerintah yang mengawasi industri jasa keuangan, OJK telah menyusun Roadmap Keuangan Berkelanjutan tahap I pada 2015-2019 dan saat ini OJK juga telah menyelesaikan Roadmap Keuangan Berkelanjutan tahap II (2021-2025) yang berfokus pada pengembangan ekosistem terdiri dari 7 (tujuh) komponen meliputi kebijakan, produk, infrastruktur pasar, koordinasi kementerian/lembaga, dukungan non-pemerintah, sumber daya manusia dan awareness.
Adapun beberapa prioritas yang akan menjadi landasan pengembangan keuangan berkelanjutan ke depan yaitu pengembangan taksonomi hijau; implementasi aspek lingkungan, sosial dan tata kelola; pelaksaaan program riil, inovasi produk dan layanan keuangan serta kampanye nasional keuangan berkelanjutan.
Penelitian dari University of California, Berkeley menyatakan bahwa apabila perubahan iklim tidak dimitigasi dengan baik dapat menyebabkan penurunan PDB sebesar 23 % di tahun 2100.
Oleh karenanya, penerapan keuangan berkelanjutan harus dipercepat sebagai salah satu mitigasi dari dampak perubahan iklim dari sektor ekonomi dan keuangan.
Dalam menjalankan perannya selama ini bank belum melihat jauh kepada permasalahan yang ditimbulkan oleh dunia usaha dan merasa tidak ikut bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh usaha yang dibiayai bank.
Padahal, seharusnya perbankan tidak boleh tutup mata atas dampak perubahan iklim ini karena ada efek jangka panjang yang mengintai keberlangsungan usaha yang dibiayai bank, seperti percepatan kerusakan fisik aset akibat tingginya emisi karbon dan efek rumah kaca, gangguan pada proses produksi, rantai pasokan, harga bahan baku karena bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan sehingga mempengaruhi permintaan produksi.
Apabila hal ini terjadi, maka debitur akan mengalami kerugian yang pada akhirnya menghadapi kesulitan untuk mengembalikan pinjamannya.
Seiring terjadinya kerugian yang dialami oleh debitur, maka bank sebagai lender tentu akan menerima dampaknya berupa resiko kerugian juga akibat utang yang tidak tertagih. Untuk menghindari kerugian, maka sebenarnya Bank dapat meminta persyaratan-persyaratan di bidang lingkungan, misalnya dengan melihat apakah AMDAL-nya sudah ada, bagaimana environmental assessment dilakukan, apakah debitur sudah memiliki standar lingkungan.
Bank juga perlu melakukan monitoring terhadap implementasi kegiatan yang dilakukan oleh debitur untuk melihat apakah dana yang digunakan tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat lingkungan yang telah ditetapkan oleh regulator.
Pemenuhan persyaratan dalam pemberian kredit yang mendukung prinsip keuangan berkelanjutan hendaknya termuat dalam Kebijakan Pemberian Kredit setiap lembaga perbankan di Indonesia, seperti persyaratan aspek Lingkungan, Sosial dan Tata kelola (LST) yang selaras dengan Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang dibuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Beberapa kebijakan perkreditan terkait lingkungan hidup disebut juga Green Banking, yaitu upaya perbankan dalam menjaga lingkungan hidup, diantaranya adalah: Menyediakan skim kredit untuk sektor ramah lingkungan, Memberikan insentif bunga terhadap debitur yang memiliki model bisnis ramah lingkungan, Persyaratan pengolahan limbah dan environmental assesment atas usaha tertentu.
Kemudian, menerapkan prinsip business sustainability dalam analisa kelayakan kredit debitur, Mempersyaratkan dokumen pengelolaan lingkungan berdasarkan sektor industri dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca: Ingat, Ibadah dan Ritual Peribadatan Tidaklah Sama
Lalu, Tidak memberikan pembiayaan/kredit kepada aktivitas usaha/bisnis yang memberikan dampak negatif kepada lingkungan seperti: penebangan liar, pembukaan perkebunan di lahan gambut, aktivitas yang membahayakan lingkungan termasuk mengganggu wilayah yang dilindungi seperti situs warisan dunia Implementasi kebijakan perkreditan tersebut diharapkan dapat mendukung prinsip keuangan berkelanjutan. Sehingga, pertumbuhan Indonesia menjadi negara maju dan ekonomi rendah karbon dapat segera terwujud.