SIANTAR, BENTENGSIANTAR.com– Ke-2 orang utan yang diduga hasil perburuan warga Dairi sampai saat ini masih berada di Taman Hewan Pematangsiantar (THPS). Untuk menjaga spesies hewan langka itu, THPS diminta mengembalikan ke-2 orang utan itu ke habitatnya.
Nico Nathanael Sinaga, Koordinator Sahabat Lingkungan (Saling) menuturkan, sebagai lembaga konservasi, THPS benar memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan penyelamatan dan perlindungan terhadap satwa liar, termasuk melakukan penangkaran, namun haruslah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
“Kita ketahui bahwa salah satu bentuk konservasi dari segi pemanfaatan satwa liar adalah dengan melakukan usaha penangkaran yaitu usaha perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya,” ujar Nico, kepada BENTENGSIANTAR.com, Rabu (1/8/2018).
Namun, lanjut Nico, THPS harus mengambil langkah yang bijak. Satu-satunya cara yaitu dengan mengembalikan Orang Utan Sumatera tersebut ke habitat aslinya.
Alasan Nico, dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2004, jumlah spesies Orang Utan berkisar 6.667 di habitat seluas 703.100 hektare (ha) dan data terbaru KLHK pada tahun 2016, jumlah populasi dan persebaran Orang Utan meningkat, berkisar 14.470 individu di habitat seluas 2.155.692 hektare (ha). Artinya, bahwa dalam dekade waktu tersebut, populasi dan persebaran Orang Utan di Sumatera mengalami perkembangan di habitat aslinya.
“Jadi, tanpa perlu melakukan penangkaran di luar habitat (ex situ), populasi Orang Utan bisa meningkat,” ujarnya.
Di sisi lain, sambung Nico, THPS selaku lembaga konservasi seharusnya bertindak tegas jika mengetahui ada perburuan ilegal oleh warga terhadap Orang Utan.
“Perburuan ini selalu menjadi ancaman bagi populasi Orang Utan. Satu hal yang menarik perhatian jika memang benar informasi tentang THPS yang menerima satwa liar seperti Orang Utan dari hasil buruan warga Dairi dan THPS seharusnya bertindak tegas, bisa saja dengan melaporkan atau mengadukan pelaku perburuan itu kepada aparat terkait. Jangan seakan-akan THPS mengamini tindakan perburuan ilegal terhadap Orang Utan,” kata Nico.
Menurut Nico, perburuan satwa secara ilegal merupakan perbuatan melanggar hukum di bidang Konservasi dan ada pidananya. Yang mana, pada pasal 21 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 disebutkan bahwa setiap orang dilarang menangkap satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
“Dan jika itu dilanggar bisa dipidana dengan pidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta. Ketika THPS mengetahui perburuan tersebut kenapa tidak melaporkan pelaku?” ujar Nico.
(Baca: Warga Temukan 2 Ekor Orangutan, Kini Dititipkan di Taman Hewan Siantar)
(Baca: Taman Hewan Siantar Diduga Tak Punya Izin ‘Pelihara’ 2 Orangutan)
Nico menegaskan, jika THPS tidak bersedia mengembalikan Orang Utan tersebut ke habitat aslinya dan ada data akurat terkait bisnis ilegal Orang Utan itu, bisa saja dilaporkan ke Menteri LHK dan minta agar izin konservasi THPS dicabut.
“Dengan dugaan memperoleh koleksi jenis satwa liar, seperti Orang Utan, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
(Baca: Izin Belum Ada, 2 Ekor Orangutan Sumatera Masih di Taman Hewan)
(Baca: Yayasan Orang Utan Menduga Taman Hewan Siantar Terlibat Bisnis Ilegal)
Seharusnya, sambung Nico, THPS juga harus memiliki izin penangkaran Orang Utan itu dari Kementerian LHK melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE).
“Pengajuannya bisa saja lewat BKSDA karena selaku Unit Pelaksana Teknis di daerah. BKSDA memang bertanggungjawab mengawasi dan memantau peredaran satwa yang dilindung di wilayah masing-masing, termasuk memantau upaya-upaya penangkaran serta pemeliharaan satwa yg dilindungi baik perorangan, perusahaan, maupun lembaga-lembaga konservasi seperti THPS. Dan sepertinya BKSDA masih berupaya agar Orang Utan tersebut dikembalikan oleh THPS ke habitat aslinya, namun belum ada respon yang baik dari THPS,” tandasnya.