SIDAMANIK, BENTENGSIANTAR.com– Sejak Tahun 1990-an, kera, monyet, dan babi hutan sudah masuk ke lahan masyarakat pinggiran Danau Toba, di Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Tapi saat itu, masih dapat dikendalikan.
Namun, sejak Tahun 2019, gangguan kera, monyet, dan babi hutan sudah tidak bisa diatasi.
Semua itu terjadi akibat alih fungsi hutan dan atau bergantinya hutan heterogen menjadi homogen atau hutan tanaman industri (HTI). Peralihan fungsi hutan alami menjadi hutan eucalyptus telah menyebabkan hilangnya rumah dan rantai makanan bagi kawanan kera, monyet, dan babi hutan.
Dengan demikian kawanan ini bermigrasi ke perladangan, bahkan ke permukiman penduduk untuk mencari makanan.
“Inilah yang kemudian menjadi bencana besar bagi masyarakat Sipolha-Tambun Raya,” ungkap Pdt Bungaran Damanik STh, putra Sipolha dalam aksi damai di depan kantor desa, Huta Bolon, Kamis (23/6/2022).
Sementara, masih kata Bungaran, mayoritas masyarakat pinggiran Danau Toba di Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun bekerja sebagai petani. Dan, selain lahan pertanian mereka juga tidak begitu luas, struktur tanahnya juga berbatu.
“Tapi, di tanah berbatu inilah masyarakat bercocok tanam; menanam cabai, jagung, jahe, tomat, bawang, kacang tanah, ubi, padi, kopi, mangga, durian, alpukat, dan lain-lain,” ujar Bungaran, di hadapan Bupati Simalungun Radiapoh Hasiholan Sinaga dan Ketua DPRD Timbul Jaya Sibarani, yang turut hadir dalam aksi damai itu.
Baca: Cerita Lain di Balik Putusan Sengketa Tanah 30 Hektare Gunung Rintih, Ada Perkumpulan Suster
Baca: Unjuk Rasa Protes PT TPL Meluas, Truk Bermuatan Kayu Ekaliptus Dihadang di Siantar
Namun sekarang, persoalan pertanian masyarakat semakin pelik dengan adanya gangguan dari kawanan binatang-binatang liar.
“Intinya, hama seperti kera, monyet, dan babi hutan telah menyebabkan kerugian besar para petani,” sebut Bungaran.
Dampak Kerugian Sosial Kehadiran TPL
Dampak Kerugian Sosial Kehadiran TPL
Lanjut Bungaran Damanik, dampak negatif lain yang langsung dirasakan masyarakat akibat alih fungsi hutan itu adalah sumber-sumber mata air dari kawasan hutan yang kini dikuasai TPL sebagai hutan industri, semakin mengecil dan atau bahkan mati.
Atas semua itu, secara ekonomi menurut Bungaran, pendapatan masyarakat mengalami penurunan.
Kemudian, masih kata Bungaran, masyarakat Tambun Raya-Sipolha juga diperhadapkan dengan masalah sosial baru. Saat ini, sulit bagi petani mengikuti kegiatan sosial (kebersamaan) dan keagamaan.
Kondisi ini mengakibatkan pergeseran pola hidup masyarakat yang semula kuat dalam kebersamaan yang dirawat dengan aktivitas perkumpulan menjadi masyarakat yang individualis yang terfokus pada urusan masing-masing.
Masalah tersebut juga berdampak bagi kesehatan. Mengingat mereka harus menghabiskan waktu menjaga ladangnya sepanjang hari dan bahkan malam hari, maka tidak jarang muncul berbagai penyakit sebab kurang istirahat.
Baca: Humas TPL Sektor Aek Nauli Ditetapkan Tersangka Kasus Penganiayaan Warga Sihaporas
Baca: Aksi Massa Melawan Kesewenang-wenangan TPL di Sihaporas
Anak-anak usia sekolah juga ikut dilibatkan untuk menjaga ladang. Dengan demikian waktu belajar bahkan bermain anak-anak benar-benar hilang.
“Secara psikologis persoalan ini juga menyebabkan sebagian masyarakat stress. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perusahaan TPL telah mengakibatkan kerugian materil dan imateril yang sangat besar terhadap masyarakat Tambun Raya – Sipolha,” ujar Bungaran.
Sebenarnya selama ini lebih lanjut Bungaran, masyarakat sudah berupaya dengan kemampuan yang mereka miliki untuk mengatasi serangan hama dimaksud. Misalnya, menjaga tanaman sepanjang hari, mengadakan pengasapan di ladang, mengusir hama secara bersama-sama, memelihara anjing di lokasi ladang, hingga bersepakat menyisihkan sedikit lahan untuk dijadikan hutan buah. Namun tidak satu pun usaha itu berhasil.
Atas kondisi itu maka masyarakat Tambun Raya – Sipolha meminta pihak perusahaan TPL untuk bertanggungjawab. Dan, berharap bahwa pemerintah Simalungun turut serta (proaktif) membela rakyatnya.
Dalam aksi itu, masyarakat menuntut agar dalam jangka pendek, TPL memberikan kompensasi kepada masyarakat Tambun Raya – Sipolha. TPL juga harus segera dan serius menanggulangi hama dimaksud, TPL juga harus memastikan CSR perusahaannya dinikmati masyarakat Tambun Raya – Sipolha, dengan membangun fasilitas-fasilitas umum yang bermanfaat untuk kemajuan, serta pemberian bantuan yang mendukung perekonomian masyarakat.
Baca: Perda Masyarakat Adat Disahkan, TPL Wajib Hengkang
Baca: Terkait Kisruh PT TPL dengan Masyarakat Adat Natumingka, Kadishut Sumut Bilang Begini
Lalu, dalam jangka panjang, TPL dimintakan membuat food forest minimal 10 ha sepanjang Tambun Raya – Sipolha. TPL juga harus membuat area penghijauan di sekitar daerah aliran sungai, dan TPL harus memberdayakan masyarakat dengan menyediakan lahan, bibit, dan biaya perawatan tanaman buah-buahan (selama lima tahun) yang diperuntukkan bagi satwa liar.
Pdt Jhon Winsyah Saragih, selaku koordinator aksi menegaskan bahwa masyarakat akan menunggu respon dari pihak-pihak terkait selambat-lambatnya dua minggu ke depan. Jika tidak, masyarakat akan terus menuntut bahkan dengan melibatkan lembaga-lembaga maupun aktivis-aktivis sosial yang benar-benar konsern dengan masalah sosial dan lingkungan.
Menanggapi tuntutan masyarakat, pihak manajemen TPL, yang diwakili Manik, Linggom Dongoran, dan Betmen Ritonga mengapresiasi aksi damai masyarakat Tambun Raya – Sipolha. Mereka berjanji akan merespon tuntutan masyarakat.
Sikap serupa disampaikan Bupati Simalungun Radiapoh H Sinaga. Dia mengapresiasi aksi yang digagas oleh beberapa pendeta GKPS.
Di depan massa, Radiapoh memerintahkam camat dan pangulu di wilayah terdampak untuk proaktif mendampingi masyarakat membahas rencana tindak langsung dengan pihak TPL.
Senada dengan hal itu, Ketua DPRD Timbul Jaya Sibarani sangat mendukung aksi masyarakat. Bahkan, Timbul juga sangat terkesan dengan aksi tersebut.
Menurut Timbul, aksi masyarakat Tambun Raya-Sipolha paling kreatif, terhormat, dan sangat menyentuh.
“Sebagai ketua DPRD Simalungun, saya menitip pesan ke pemerintah dan TPL agar segera menampung aspirasi masyarakat,” ujarnya.
Baca: Klaim Tanah Adat Bikin TPL Meradang, Pemerintah Harus Tegas, Dunia Usaha Butuh Kepastian Hukum
Baca: Dua Warga Sihaporas Bantah Lakukan Pemukulan Saat Terlibat Bentrok dengan TPL
Pantauan media, aksi damai itu diikuti ratusan masyarakat Tambun Raya-Sipolha, Kecamatan Pamatang Sidamanik. Aksi berjalan lancar. Turut hadir dalam aksi itu, pihak BBKSDA Sumut, dan Dinas Kehutanan Sumut.